Welcome to My Website. I studied engineering but later became a journalist, who then "rewarded" me with a Master's degree in Finance & Accounting ... but in the last 10 years, I trained and shared COMMUNICATION skills - not about money, or building materials. I fell in love with this knowledge, then deepened it scientifically as a Master in Communication Science. Now, I teach from Interpersonal, Self-Concept, Creative Writing, Family Communication to Media Handling Skills in corporations, government, and campus. That is ... my life is full of surprises and unusual dynamics.To know more about me, please follow my FB&IG at Feby.Siahaan

Agar Perusahaan (Jadi) Ramah Lingkungan

Agar Perusahaan (Jadi) Ramah Lingkungan

Oleh Aurora Silitonga



Bagaimana membuat jera perusahaan perusak lingkungan? 


Pahamilah bahwa bagi perusahaan, yang paling menakutkan adalah bokek, tidak punya uang. Tidak ada cash, sama saja bisnis mandek. Tidak bisa membayar upah, supplier, distribusi, retribusi dan lainnya. Lalu uang itu datang darimana? Ya salah satunya dari dompet Anda, para konsumen, para pembeli barang dan jasa. 


Jadi, sadar tak sadar, Anda semua punya kendali atas mati hidupnya sebuah perusahaan. Konsumen memiliki bargaining power atas perilaku sebuah perusahaan yang produknya dijual kepada masyarakat luas. Saya dan Anda bisa menAdikte proses produksi dari perusahaan-perusahaan dengan membeli lebih, atau sebaliknya mogok membeli, produk dan jasa yang mereka produksi. 

,

Nah, prinsip yang sama melahirkan gagasan pembiayaan berkelanjutan. Gagasan ini mendorong penanam modal untuk menanamkan uangnya di perusahaan-perusahaan yang “baik” secara social, mendukung keberlanjutan lingkungan dan tata kelola. Atau istilah globalnya Environmental, Social, Governance, disingkat ESG. Penanam modal akan enggan menanamkan uangnya di perusahaan yang “nakal” karena ada resiko konsumen memboikot produk mereka. Bila hal tersebut terjadi, modal yang ditanamkan oleh perusahaan financing terancam sia sia.


Tahun 2017, dan 75% investor individual mulai berkomitmen untuk menanamkan modal lebih banyak ke perusahaan-perusahaan taat ESG. 


Lalu, tahun 2019 , sekitar 62% institusi keuangan seluruh dunia menetapkan prinsip-prinsip tersebut dalam keputusan investasinya. 


Sayangnya, jumlah mereka masih belum cukup untuk memaksa perusahaan taat kepada ketentuan ESG. Logikanya, toh masih ada 38% investor lain yang bisa didekati. Akhirnya korporasi pun terus menunda (atau menolak) untuk memberlakukan  prinsip prinsip bisnis yang ramah lingkungan dengan lebih radikal. Keengganan ini terlihat dari masih sedikitnya perusahaan yang memublikasikan Laporan Pelaksanaan ESG mereka. 


Untunglah pemerintah tidak tinggal diam.


Melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nomor 59 tahun 2017, Indonesia mewajibkan perusahaan melampirkan data emisi dan dampak lingkungan lainnya dalam laporan keuangan mereka. Akan tetapi peraturan ini masih dalam tahap transisi dan belum diwajibkan secara penuh. Peraturan ini juga tidak mencantumkan hukuman bagi perusahaan-perusahaan yang lalai. 


Antiklimaks. Akibatnya, beberapa perusahaan mencantumkan informasi yang ala kadarnya saja. Kalaupun dilampirkan, informasinya sulit diakses dan tidak mudah dipahami masyarakat awam. Bila informasi tidak tersedia dengan jelas, baik investor individual, masyarakat, atau institusi keuangan sulit untuk memilah mana perusahaan baik yang pantas menerima investasi atau pembelian mereka. 


Kalau pemerintah kesulitan, maka masyarakat bisa ambil tindakan. Caranya seperti yang di awal disinggung. Yaitu dengan mengonsumsi dan membeli produk atau jasa yang dihasilkan dari perusahaan ramah bumi, ramah kehidupan. Hal itu harus dibuktikan dan divalidasi dari keberadaan laporan Sustainability Report yang berstandar internasional. Bukan asal asalan.


 Dengan begitu, perusahaan-perusahaan yang baik akan lebih termotivasi untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kinerja lingkungan yang baik. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang buruk atau tidak jelas reputasinya akan kehilangan minat dari konsumen dan investor. Untuk mendapatkan kembali keuntungan yang hilang, perusahaan-perusahaan ini akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja lingkungan, sosial, dan tata kelola mereka. 


Fenomena ini dibuktikan oleh Matsumura – seorang peneliti dari Wisconsin School of Business -  di tahun 2014 dimana perusahaan-perusahaan Amerika mengalami peningkatan nilai perusahaan sekitar dua juta dollar AS apabila melampirkan data kinerja lingkungan dibandingkan perusahaan yang tidak melampirkan informasi. Begitu pula perusahaan yang tinggi emisi akan mengalami penurunan nilai perusahaan sekitar dua ratus dollar AS. 


Tidak hanya menjaga perilaku perusahaan-perusahaan agar tidak nakal, membeli produk atau menanamkan modal pada perusahaan-perusahaan berkelanjutan juga memberikan keuntungan-keuntungan lain bagi masyarakat. Membeli produk perusahaan taat ESG berarti masyarakat tidak berkontribusi terhadap kerusakan iklim dan ekosistem sehingga konsumen bisa tidur lebih tenang tanpa rasa bersalah. 


Selain itu, tentu lingkungan tempat hidup konsumen dan juga sekitar pabrik perusahaan taat ESG bisa lebih asri dan aman dari kerusakan. Investasi pada perusahaan taat ESG juga lebih aman secara jangka panjang. 


Perusahaan-perusahaan dengan kinerja lingkungan yang baik lebih aman dari risiko terkena sanksi pemerintah dan masyarakat akibat tindakan buruk mereka pada lingkungan. Konsumen dan investor juga akan lebih aman dari risiko kehilangan keuntungan akibat perubahan iklim. Perubahan iklim dapat menghentikan kegiatan produksi akibat bencana, habisnya sumber daya untuk faktor produksi, dan risiko fisik lain yang muncul akibat dampak buruk perusahaan pada lingkungan.