Welcome to My Website. I studied engineering but later became a journalist, who then "rewarded" me with a Master's degree in Finance & Accounting ... but in the last 10 years, I trained and shared COMMUNICATION skills - not about money, or building materials. I fell in love with this knowledge, then deepened it scientifically as a Master in Communication Science. Now, I teach from Interpersonal, Self-Concept, Creative Writing, Family Communication to Media Handling Skills in corporations, government, and campus. That is ... my life is full of surprises and unusual dynamics.To know more about me, please follow my FB&IG at Feby.Siahaan

Dialog Bersama Wartawan dan Analis Emma Connors

 An indepth discussion with Emma Connors --- Australian Financial Review (AFR) on various issues from SME, journalism to conspiration theory.









Wawancara untuk Penulisan Buku CSR PERTAMINA

 

Poto ini dijeprettt saat saya dan tim penulis mewawancara untuk penulisan buku CSR PERTAMINA 2020.

Senang bisa mendengar langsung dari para "pejuang ekonomi kreatif" yang kemudian kisahnya diangkat oleh Pertamina.

Sukses selalu ya ibu dan bapak sekalian. Aminn





COMMUNICATION SKILL FOR POLITICIAN
(KEMAMPUAN KOMUNIKASI BAGI POLITIKUS)

Senang rasanya, ketika sebuah lembaga politik menaruh concern terhadap kemampuan berkomunikasi (massa) calon calon politikus muda. Dan lebih senang lagi, ketika menjadikan buku yang saya tulis "I CAN SMELL YOUR BLOOD" - 42 Kesalahan Jurubicara ketika menghadapi Media, menjadi referensinya.  Semoga bermanfaat. 



Agar Perusahaan (Jadi) Ramah Lingkungan

Agar Perusahaan (Jadi) Ramah Lingkungan

Oleh Aurora Silitonga



Bagaimana membuat jera perusahaan perusak lingkungan? 


Pahamilah bahwa bagi perusahaan, yang paling menakutkan adalah bokek, tidak punya uang. Tidak ada cash, sama saja bisnis mandek. Tidak bisa membayar upah, supplier, distribusi, retribusi dan lainnya. Lalu uang itu datang darimana? Ya salah satunya dari dompet Anda, para konsumen, para pembeli barang dan jasa. 


Jadi, sadar tak sadar, Anda semua punya kendali atas mati hidupnya sebuah perusahaan. Konsumen memiliki bargaining power atas perilaku sebuah perusahaan yang produknya dijual kepada masyarakat luas. Saya dan Anda bisa menAdikte proses produksi dari perusahaan-perusahaan dengan membeli lebih, atau sebaliknya mogok membeli, produk dan jasa yang mereka produksi. 

,

Nah, prinsip yang sama melahirkan gagasan pembiayaan berkelanjutan. Gagasan ini mendorong penanam modal untuk menanamkan uangnya di perusahaan-perusahaan yang “baik” secara social, mendukung keberlanjutan lingkungan dan tata kelola. Atau istilah globalnya Environmental, Social, Governance, disingkat ESG. Penanam modal akan enggan menanamkan uangnya di perusahaan yang “nakal” karena ada resiko konsumen memboikot produk mereka. Bila hal tersebut terjadi, modal yang ditanamkan oleh perusahaan financing terancam sia sia.


Tahun 2017, dan 75% investor individual mulai berkomitmen untuk menanamkan modal lebih banyak ke perusahaan-perusahaan taat ESG. 


Lalu, tahun 2019 , sekitar 62% institusi keuangan seluruh dunia menetapkan prinsip-prinsip tersebut dalam keputusan investasinya. 


Sayangnya, jumlah mereka masih belum cukup untuk memaksa perusahaan taat kepada ketentuan ESG. Logikanya, toh masih ada 38% investor lain yang bisa didekati. Akhirnya korporasi pun terus menunda (atau menolak) untuk memberlakukan  prinsip prinsip bisnis yang ramah lingkungan dengan lebih radikal. Keengganan ini terlihat dari masih sedikitnya perusahaan yang memublikasikan Laporan Pelaksanaan ESG mereka. 


Untunglah pemerintah tidak tinggal diam.


Melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nomor 59 tahun 2017, Indonesia mewajibkan perusahaan melampirkan data emisi dan dampak lingkungan lainnya dalam laporan keuangan mereka. Akan tetapi peraturan ini masih dalam tahap transisi dan belum diwajibkan secara penuh. Peraturan ini juga tidak mencantumkan hukuman bagi perusahaan-perusahaan yang lalai. 


Antiklimaks. Akibatnya, beberapa perusahaan mencantumkan informasi yang ala kadarnya saja. Kalaupun dilampirkan, informasinya sulit diakses dan tidak mudah dipahami masyarakat awam. Bila informasi tidak tersedia dengan jelas, baik investor individual, masyarakat, atau institusi keuangan sulit untuk memilah mana perusahaan baik yang pantas menerima investasi atau pembelian mereka. 


Kalau pemerintah kesulitan, maka masyarakat bisa ambil tindakan. Caranya seperti yang di awal disinggung. Yaitu dengan mengonsumsi dan membeli produk atau jasa yang dihasilkan dari perusahaan ramah bumi, ramah kehidupan. Hal itu harus dibuktikan dan divalidasi dari keberadaan laporan Sustainability Report yang berstandar internasional. Bukan asal asalan.


 Dengan begitu, perusahaan-perusahaan yang baik akan lebih termotivasi untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kinerja lingkungan yang baik. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang buruk atau tidak jelas reputasinya akan kehilangan minat dari konsumen dan investor. Untuk mendapatkan kembali keuntungan yang hilang, perusahaan-perusahaan ini akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja lingkungan, sosial, dan tata kelola mereka. 


Fenomena ini dibuktikan oleh Matsumura – seorang peneliti dari Wisconsin School of Business -  di tahun 2014 dimana perusahaan-perusahaan Amerika mengalami peningkatan nilai perusahaan sekitar dua juta dollar AS apabila melampirkan data kinerja lingkungan dibandingkan perusahaan yang tidak melampirkan informasi. Begitu pula perusahaan yang tinggi emisi akan mengalami penurunan nilai perusahaan sekitar dua ratus dollar AS. 


Tidak hanya menjaga perilaku perusahaan-perusahaan agar tidak nakal, membeli produk atau menanamkan modal pada perusahaan-perusahaan berkelanjutan juga memberikan keuntungan-keuntungan lain bagi masyarakat. Membeli produk perusahaan taat ESG berarti masyarakat tidak berkontribusi terhadap kerusakan iklim dan ekosistem sehingga konsumen bisa tidur lebih tenang tanpa rasa bersalah. 


Selain itu, tentu lingkungan tempat hidup konsumen dan juga sekitar pabrik perusahaan taat ESG bisa lebih asri dan aman dari kerusakan. Investasi pada perusahaan taat ESG juga lebih aman secara jangka panjang. 


Perusahaan-perusahaan dengan kinerja lingkungan yang baik lebih aman dari risiko terkena sanksi pemerintah dan masyarakat akibat tindakan buruk mereka pada lingkungan. Konsumen dan investor juga akan lebih aman dari risiko kehilangan keuntungan akibat perubahan iklim. Perubahan iklim dapat menghentikan kegiatan produksi akibat bencana, habisnya sumber daya untuk faktor produksi, dan risiko fisik lain yang muncul akibat dampak buruk perusahaan pada lingkungan. 



MEDIA HANDLING SKILL: BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME (BNPT) - 2 FULL DAYS

TIGA hari sebelum sesi, saat saya membaca 16 nama peserta pelatihan ini, saya agak "meh".... skeptis. Semuanya, level 'bintang'. Brigjen, Mayjen, Irjen. "Gak bakal lah serius ngikutin training 2 hari," begitu pikir saya. Tapi ya,namanya tugas, dijalanin juga.

Ternyata, saya salah!

Semua  peserta commit, serius, fokus mengikuti training. Animo dan semangat belajar para petinggi BNPT ini sungguh layak diacungi jempol. Saat latihan sesi, semua masukan diserap dan dipraktekkan dengan sunguh sungguh.
.
Sebagaimana Media Handling training session yang saya bawakan, sesi akan dimulai dari pemahaman dan konsep dasar tentang Komunikasi Massa. Tentang apa resiko yang harus mereka pikul sebagai representativ dari BNPT saat di depan media massa, tentang "kagaulan" informasi di era digital dan apa dampaknya terhadap institusi, serta tentu saja....TIPS  saat berhadapan dengan media.

Smangat BNPT, ganyang semua bibit radikalisme dan terorisme di NKRI.





Pengakuan Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Sarmi Papua akan tanah dan hutannya



                                                           Oleh: Martha Karafir


“Tong su punya koperasi ini tapi tong masih belum bisa ambil kayu di situ, dong su tebang banyak kayu, tapi tong tetap begini saja padahal tong yang punya tanah ini”, ujaran polos Bapak Weinandus Weiraso, lelaki berusia setengah abad lebih yang berusaha menjelaskan kehidupannya bersama masyarakat di sepanjang Pantai Barat Sarmi.

Suatu siang di hari Kamis itu, para tua-tua adat suku Isirawa di 4 kampung sepanjang pantai Barat Sarmi, Papua dari kampung Martewar, kampung Aruswar, kampung Wari hingga kampung Niwerawar berkumpul bersama kami berdiskusi dan mengutarakan isi hati mereka selama mendiami tanah mereka berpuluh-puluh tahun lamanya. Kira-kira 15 orang banyaknya, meninggalkan sejenak aktifitas keseharian mereka untuk datang mengunjungi kami yang sudah berada di balai kampung, dan meyakini ada hal baik yang akan kami bagikan bukan sekedar datang dengan kata-kata kosong lalu pergi dan tidak akan pernah kembali.

Selain para tetua kampung, ada 20 keluarga yang tergabung dalam Koperasi Serba Usaha (KSU) Sapu Saniye berharap bahwa KSU ini dapat memberikan manfaat lebih untuk meningkatkan perekonomian mereka. Koperasi bentukan Dinas Kehutanan Provinsi Papua ini sudah terbentuk sejak tahun 2013. 

Berdasarkan fungsi kawasan hutan, lahan KSU Sapu Saniye seluas 4.441 hektar merupakan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Sampai saat ini masyarakat belum dapat menikmati hasil kayu dari tanah mereka dibandingkan dengan perusahaan kayu yang tentu saja mendapat izin dari Pemerintah untuk mengeksplotasi lahan di daerah mereka tanpa memikirkan jangka panjang akibat yang akan dialami oleh masyarakat sekitarnya khususnya generasi di masa depan.  

Dibawah pimpinan Bapak Weinandus Weiraso, yang merupakan ketua koperasi, diskusi siang itu membuka hati dan keteguhan kami untuk dapat membantu memberikan dampak baik sebagai hasil dari kedatangan kami. Bapak Weinandus Weiraso sendiri bukan merupakan masyarakat adat asli di Pantai Barat, beliau berasal dari suku Armati, Barat Daya Pantai Barat, di kampung Aurimi, Distrik Apawer Hulu. Namun beberapa tahun silam, Bapak Weinandus Weisaso menikah dengan wanita yang berasal dari kampung Aruswar sehingga mempunyai hak untuk mengelola lahan di kampung tersebut didasarkan atas keturunan istrinya dan diberikan kepercayaan untuk memimpin koperasi ini.

Geraldy, rekan sepekerjaan saya, bercakap santai dengan sebatang rokok ditangan, menjelaskan maksud  kedatangan kami: Bukan hanya melakukan pemetaan wilayah adat, bukan sekedar menggali kearifan lokal masyarakat, namun mengupayakan hak masyarakat adat untuk mengolah hutan mereka sendiri. Kami juga menjelaskan bahwa masih ada alternatif hasil hutan, selain kayu, yang dapat dimanfaatkan dan menghasilkan sepundi uang untuk bertahan hidup.

Salah satu warga, pak Esau Timi mengatakan bahwa terdapat banyak rotan di hutan namun mereka tidak tahu cara untuk dapat menjualnya dikarenakan belum pernah ada investor yang tertarik membelinya.  

Tidak mudah untuk memberikan pemahaman kepada penduduk lokal bahwa “menebang kayu” bukan satu-satunya jalan keluar untuk dapat menghasilkan uang. Berpuluh tahun mereka sudah dimanjakan dengan jalan pintas mendulang rejeki dari penebangan pohon. Masyarakat lugu dan polos ini tak sepenuhnya salah. Mereka hanya mencontoh bagaimana perusahaan besar bermodalkan izin konsesi memperkaya diri  di depan mata mereka bertahun-tahun lamanya.

Banyak pernyataan dan pertanyaan keluar dari mulut-mulut berkunyahkan pinang, menggugah rasa keinginantahuan mereka, “sa pernah keluar Papua, baru tau kalo dong jual kayu-kayu diluar Papua tuh mahal sekali, bahkan perusahaan disini saja bisa jual Rp 80.000 perkayu tergantung kubik, tapi kalo tong yang jual murah sekali, kurang dari itu, macam tidak adil kah”, ungkapan tegas seorang pemuda lokal, yang sedari tadi sangat antuis dengan pertemuan ini.

Ah, adik. Saya pun terkadang bingung dengan semua kejadian ini.

(Tulisan ini adalah salah satu hasil dari latihan pada training ‘Creative Writing for Researcher’ – 17-18 Desember 2019 di Jakarta) 

Mengurai Benang Merah Tingginya Konflik Lahan di Indonesia


oleh Azam Hawari

Pada saat bulldozer menghancurkan rumah-rumah kami dengan kawalan polisi bersenjata, tidak ada satupun dari kami yang berani untuk melakukan apapun, kecuali menangis,”ucap perempuan paruh baya itu dengan tatapan nanar.

Tahun 2015, rumahnya yang berada di dusun Cawang Gumilir digusur karena diklaim sebagai kawasan konservasi. Setelah penggusuran banyak warga senasib yang memutuskan pulang kampung di kawasan Lampung, Jambi dan Riau. Bua tapa tetap tinggal, toh mereka tidak punya lahan lagi untuk ditempati.

Kasus Cawang Gumilir merupakan satu dari banyak konflik lahan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria, sepanjang tahun 2018 telah terjadi 410 kasus konflik lahan di Indonesia, yang berdampak pada 87.658 keluarga. Tingginya angka ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti tata kelola lahan yang buruk, minimnya data dan informasi terkait status lahan, korupsi, hingga kurangnya kapasitas pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat dalam menyelesaikan konflik lahan secara efektif.

Pertama, tata kelola lahan yang buruk menjadi faktor penting dari konflik lahan. Sebagai contoh, pembagian kewenangan tata kelola lahan yang dibagi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, berimplikasi pada tersebarnya lembaga penanganan konflik lahan. Hal ini ditambah dengan berbagai kebijakan dari pemerintah yang menugaskan banyak tim adhoc untuk menangani konflik lahan seperti Gugus Tugas Reforma Agraria, Tim Inver PPKTH, Pokja Perhutanan Sosial, dan lain-lain.

Berbagai lembaga ini seringkali tidak berkoordinasi dengan baik. Akibatnya, banyak kasus laporan masyarakat ditolak dengan alasan bukan kewenangan lembaga tersebut. Pun jika diterima, laporan tersebut seringkali dilemparkan ke lembaga lainnya.

Kedua, minimnya sistem data dan informasi berdampak pada ketidakjelasan status lahan. Keadaan ini menimbulkan perbedaan klaim lahan. Tanpa adanya status lahan yang jelas, konsensus antar para pihak yang berkonflik sulit untuk dicapai. Bahkan apabila konsensus tersebut telah dicapat, terdapat potensi kemunculan konflik baru yang berkaitan dengan status lahan ini.

Korupsi berkontribusi terhadap kualitas tata kelola lahan yang amburadul di negeri ini. Misalnya, aksi suap menyuap agar dapat izin bisnis, padahal Amdalnya bermasalah. Alahasil, segala catatan buruk dampak lingkungan pada laporan Amdal, terabaikan saat izin bisnis keluar. Miris.

Kapasitas pemangku kepentingan dalam penanganan konflik juga dibutuhkan. Sebab, konflik lahan membutuhkan pemahaman konteks sosio-ekonomi disamping pendekatan hukum. Seringkali, masyarakat yang bernegoisasi tidak mengetahui hak-haknya dan menandatangani dokumen yang tidak mereka pahami dengan baik. Akibatnya, jika kesepakatan tersebut ternyata merugikan masyarakat secara ekonomi, mereka akan menuntut kembali dan perusahaan akan menolak mengakomodasi permintaan warga dengan dasar kesepakatan tersebut. Keadaan seperti ini seringkali membuat jalan buntu dalam penyelesaian konflik lahan.

Oleh karena itu, penanganan konflik lahan memerlukan adanya perbaikan tata kelola lahan melalui peningkatan koordinasi antar lembaga, harmonisasi kebijakan, dan sistem pelaporan konflik yang terintegrasi. Selain itu, perlu adanya sistem data dan informasi yang terbuka dan terintegrasi.

Kebijakan satu peta merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan agar dapat menangani sekaligus mencegah konflik lahan. Perbaikan sistem perizinan dibutuhkan agar celah-celah korupsi tersebut tertutup sehingga dapat meminimalisasi konflik yang timbul dari penerbitan izin.

Terakhir, peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dapat dilakukan agar seluruh pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik setara dan dapat benar-benar mengakomodasi kepentingan dari para pihak secara optimal.

(Tulisan ini adalah salah satu hasil dari latihan pada training ‘Creative Writing for Researcher’ – 17-18 Desember 2019 di Jakarta) 

INKONSISTENSI KOMUNIKASI PADA INSTITUSI MEMBUAT EMPLOYEE PADA LARI

Dari pengalaman pribadi, maupun cerita dari banyak sumber di sana-sini, saya menangkap ada satu fenomena menarik pada perusahaan dan kebanyakan institusi.  Semacam kegalauan sikap, yang kemudian ditangkap oleh employee/karyawan sebagai sebuah inkonsistensi. Ketidakadilan. Mana ada manusia suka diperlakukan tidak adil. Ketika ada kesempatan, mereka pasti "lari" ke sekoci lain. Alias, resign. Cao.

Begini.

Saat recruitment, semua perusahaan akan mencari bibit bibit dengan IQ TINGGI. Semua saringan dan upaya penjaringan dilakukan intinya menemukan sosok yang pintar, cerdas dan kreatif serta inovatif. Brak!Bruk!Brak!Bruk!....singkat cerita ketemu.

Ironisnya, manajemen lupa...manusia cerdas dan kritis serta kreatif itu bukan robot. Mereka TIDAK bisa disetting:

[Command Prompt]//
                    Kritis terhadap
                 : Variable x = 'Client'
IF,
                 : Variable x =  peraturan perusahaan
                   Variable x =  keputusan manjemen,
THEN,
                 Kritis TIDAK BERLAKU
END
<>

Can not. Ora iso.

Perusahaan tidak bisa bermuka dua, dengan berharap staff hanya pintar dan kritis terhadap faktor eksternal dalam hal ini urusan pekerjaan. Sebaliknya, menjadi dungu, manut dan apatis terhadap faktor internal seperti company policy baru, sanksi dari perusahaan atau kondite bos yang asal asalan. 

Jika employee Anda adalah generasi milineal, bisa dipastikan mereka akan lebih berontak lagi jika menghadapi Budaya Perusahaan bermuka dua seperti itu. Milenial, by research, adalah generasi dengan IQ tertinggi sepanjang sejarah manusia. Mereka memiliki akses terhadap semua jenis informasi dan referensi. Saat merasa 'tidak sreg' mereka cepat berselancar di dunia maya, mencari tau standar di luar sana.

Lalu bagaimana?

Lesson learnnya adalah, perusahaan cq manajemen harus konsisten dengan komunikasi (pesan) yang mereka ciptakan dari awal. Merekrut orang pintar memiliki konsekwensi. Buka ruang bagi mereka bersuara, tapi jangan cuma formalitas belaka. Dengar, tampung, adjust.  Bukan: Dengar - Tampung - Endapkan.

*