Welcome to My Website. I studied engineering but later became a journalist, who then "rewarded" me with a Master's degree in Finance & Accounting ... but in the last 10 years, I trained and shared COMMUNICATION skills - not about money, or building materials. I fell in love with this knowledge, then deepened it scientifically as a Master in Communication Science. Now, I teach from Interpersonal, Self-Concept, Creative Writing, Family Communication to Media Handling Skills in corporations, government, and campus. That is ... my life is full of surprises and unusual dynamics.To know more about me, please follow my FB&IG at Feby.Siahaan

Saat Wartawan Angkat Bicara


........tentang tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan jumlah anak kurang gizi (Stunting) di Indonesia, walau sudah puluhan tahun merdeka.

*
Biarlah parpol enggan jadi oposisi, selama Media konsisten mengkritisi

Sadar tidak sadar, setiap jurnalis (wartawn) adalah Big Data Berjalan, a.k.a Portable Hard Disc. Mereka punya akses terhadap para pembuat keputusan, akses terhadap data dan masuk ke ruang ruang publik bahkan ruang tersembunyi. Semua atas nama 'demi kepentingan massa.'

Maka, sesungguhnya wartawanlah yang paling valid menjadi Pengkritik Objektif == tentu dengan catatan, ketika tidak ada titipan atau conflict of interest pada dirinya ==

Beberapa waktu lalu, saya melakukan semacam Forum Grup Diskusi dengan belasan wartawan kesehatan dari belasan media nasional. Diskusi ini bagian dari program edukasi liputan kesehatan selama tiga bulan, yang dilakukan  AJI INDONESIA bekerjasama dengan  Danone Indonesia bertajuk Health and Nutrition Journalist Academy atau HNJA 2019.

Salah satu pertanyaan besar diskusi adalah: Mengapa masalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Prosentasi Anak Stunting di Indonesia, sulit sekali diturunkan. Padahal sudah puluhan tahun sejak kita merdeka. Boro boro turun, kini jumlah kematian ibu & angka stunting Indonesia masuk TIGA tertinggi di dunia. Kita ini sudah bisa masuk kategori Negara Maju....dalam hal kematian & pesakitan. ADA APA INI? 


Dan, inilah pendapat para jurnalis dari apa yang telah mereka pantau, dengar dan lihat baik di lapangan maupun dalam sesi sesi pembelajaran.

So, government....check this out:

  1. Kebijakan pemerintah seringkali tidak sampai dan tidak dipahami sampai ke daerah daerah, termasuk wilayah yang remote/terpencil. Hanya berkutat diseputar pemangku kebijakan dan lingkungan kepemerintahan pusat atau propinsi.
  2. Pemerintah selama ini hanya fokus masa DAMPAK atau di sisi hilir, bukan berkutat di sisi HULU. Padahal banyak masalah berakar dari pola pikir masyarkat dan kebiasaan hidup.
  3. Pemerintah harusnya memperkuat mulai dari level 'KELUARGA' - karena kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan pola hidup sehat masih rendah. Fungsi RT/RW harusnya diperkuat dengan kondisi geografi yang sangat sporadis seperti Indonesia.
  4. Pemerintah terlalu fokus pada urusan ekonomi, atau yang lainnya, yang pasti masih kurang pada urusan kesehatan. Padahal Kesehatan adalah bottom line dari Kesejahteraan Rakyat. 
  5. Pemerintah terlalu ambisius untuk mencapai target SDG, ibaratnya 'napsu besar tenaga kurang'. 
  6. Pemerintah terlalu fokus pada penyakit penyakit katastropik. Urusan kesehatan ibu, juga gizi anak dan kesehatan remaja terutama putri terabaikan. 
  7. Masih ada kendala dari aspek budaya, bahwa 'Hidup Mati Urusan Tuhan'. 
  8. Strategi Komunikasi pemerintah tumpul, salah satunya tentang GERMAS yang tak terasa gaungnya sama sekali. 
  9. PUSKESMAS harus diperkuat kembali. Sekarang akses ke puskesmas di daerah juga tidak bagus, tenaga kesehatannya pun sangat kurang. kalaupun ada tidak mumpuni dan tidak teredukasi dengan baik. Jadi, PERKUAT PUSKESMAS dari segi peralatan dan tenaga kesehatannya.
  10. Berdayakan para Antropolog di Indonesia. Karena seringkali pendekatan budaya dilepaskan dari urusan kesehatan, padahal masalah kesehatan titik awalnya adalah POLA PIKIR.
  11. Jadikan pengentasan Angka Kematian Ibu dan Angka Stunting sebagai KPI (Key Performance Indicator) bagi pemerintah daerah. Dengan demikian mereka lebih serius mengurusinya, tidak melulu tentang pendapatan daerah. 
  12. Pendidikan soal GIZI, masukkan ke kurikulum. 
  13. Berdayakan para Dukun Beranak, dengan cara di edukasi ulang lalu disertifikasi.
  14. Segera tetapkan Batas Usia Nikah 21 tahun dan wajibkan pendidikan Pra-Nikah bagi para remaja dan calon pengantin.
  15. Berikan tunjangan lebih bagi para Tenaga Medis di wilayah terpencil. Dengan demikian mereka tidak lagi harus memikirkan urusan dapur dan fokus pada pekerjaan. Plus sebagai insentif tambahan...
  16. Manfaatkan Buzzer - Buzzer dan libatkan dalam Kampanye Nasional Kesehatan RI.

FS - Kepsek HNJA 2017-2019



Bahayanya Negara Tanpa Oposisi



Sewaktu mengetahui Presiden Jokowi menunjuk Prabowo menjadi Menteri Pertahanan, perasaan rada campur aduk. Lega iya...karena berharap para 'Cebong' dan 'Kampret' berdamai segera. Tapi, rada was was juga, karena lalu....siapa yang jadi oposisi pemerintah? Tadinya sih berharap pada Gerindra jadi partai watchdog, karena prosentase kemenangan partainya di parlemen kan nomor dua.

Keseimbangan itu mutlak ada dalam segala aspek di alam semesta. Bukan cuma urusan menjalankan negara. Selalu harus ada "Dua Sisi Mata Uang". Ada Check and Balance, Check & Recheck, Utara - Selatan, Pahit - Manis dan tentu saja Setuju - Kurang Setuju.

Tanpa oposisi, nanti negara jadi kaya berjalan tidak seimbang. Oleng.Kurang seru.Oposisi kan bukan berarti benci (Asal Jokowi, salah!) tapi mengkritisi, menanyakan argumentasi, premis-premis apa yang digunakan dari sebuah kebijakan.

Sebenarnya ada SATU hal yang lebih berbahaya dari urusan 'kurang seru' di atas,

Komunikasi politik mengenal satu teori yang jarang disebut orang, "Spiral of Silence Theory" atau bahasa Indonesianya kira kira Teori Pegas Kesunyian (kaya kurang pas, tapi begitulah).  Intinya, ketika ada satu kekuatan yang terlalu kuat....begitu kuatnya sampai massa "takut" dan sungkan untuk buka suara maka mereka ibarat pegas spiral yang ditekan. Semakin partai politik habis habisan membela Jokowi, tekanan terhadap pegas (suara massa yang berontak) juga makin kuat, dan semakin kuat. Bahayanya adalah, sama seperti spiral, pada saat kekuatan yang menekan melemah maka pegas akan melenting begitu kuatnya. Tak jarang daya lenting pegas malah lebih besar dari daya yang menekannya. Bahkan sangkin kuatnya, manusia yang menekanpun ikut terlempar.

Fenomena Spiral of Silence ini yang terjadi pada masa Orde Baru.

Karena takut, massa kebanyakan memilih diam. Sampai kemudian Orba melemah (karena satu dan lain hal yang tak dibahas disini)...maka lentingan amuk massa tak lagi terbendung. Dan lihat saja, daya lentingnya mampu 'menjatuhkan' rejim yang berkuasa 32 tahun.

Massa yang kuat, adalah massa yang dipaksa/terpaksa diam untuk waktu yang sangat lama. Itu gunanya Oposisi, yaitu sebagai perpanjangan mulut masyarakat yang tak setuju atau kurang paham akan keputusan pemerintah.

Kalau sudah begini, lalu bagaimana? Kebijakan pemerintah kan tak selamanya pasti sempurna?.



ttd,
Saya, dosen tak tetap sebuah kampus di Jekardah

Bapak KNKT, Koq Cengengesan Umumkan Penyebab Jatuhnya LION?

Pagi ini sebelum menyelesaikan beberapa materi kuliah, saya sempatkan membuka detik.com. Lalu, berita soal penyebab JATUHNYA LION AIR di KARAWANG muncul di Timeline.  Seperti yang sering saya ungkapkan saat memberi sesi Media Handling: Bad News itu ada tingkatannya, ada jenjangnya. Dan berita jatuhnya pesawat terbang termasuk kategori bad news ter-buruk. Artinya, akan menyita perhatian publik amat sangat.

Saya 'klik' pada berita, jreng...jreng!!! sebelum mulai membaca konten, mata saya langsung tertegun melihat Photo DAN captionnya. Saya co-pas disini poto yang saya maksud, dan tolong jawab saya......adakah yang TAK PATUT pada photo ini?

......
.....
......

Sudah nemu?
Ya, benar!!!  Captionnya soal penyebab jatuhnya pesawat, tapi koq cengengesan? Saya jadi bertanya tanya, ini foto beneran pas KonPers soal jatuhnya Lion atau pas momen lain?

Jika memang foto di atas adalah saat konpers jatuhnya Lion --- yang semua penungpangnya meninggal dunia itu -- maka "Bapak bapak pejabat KNKT, Anda perlu belajar bagaimana berbicara di depan publik sebelum menjadi pejabat. Bahasa non verbal Anda (tidak semua mungkin, setidaknya yang tertangkap pada kamera ini) sangat mengganggu." 


Indonesia Terancam Jadi Negeri Hobit

<>

Di salah satu sesi HNJA (Health Nutrition Journalist Academy) 2019 bberapa waktu lalu salah satu pembicara cukup membuat saya kaget. Menurut beliau, tinggi rata rata orang Indonesia terus menurun. Saat ini tercatat di angka 160 cm. Bandingkan dengan Jepang, 170 cm. Perih juga dengarnya secara pas menjajah Indonesia dulu negeri matahari terbit ini terkenal dengan postur tubuh masyarakatnya yang pendek.

Ada apa gerangan?

Stunting dan masalah gizi. Jangan berpikir anak anak saja yang terpapar masalah gizi, orang dewasa juga. Pola hidup salah satu alasan utama ini terjadi. Manusia digital sekarang semua serba mager. Orangtua mager, anak anaknya pun ikutan mager. Apalagi sudah ada jasa layanan antar jemput makanan...astaga! terfasilitasi lah semua kemalasan tersebut. Sudah kurang gizi, gizi tak seimbang, malas gerak pulak. Lalu bagaimana tulang akan terus bertumbuh? Beberapa riset jelas menyebutkan aktifitas seperti melompat -- atau  olahraga lain yang menarik tulang dan meningkatkan pasokan darah terhadap tulang - dapat menambah peninggian badan. Sekarang? boro boro melompat, menyebrang jalan saja kalau bisa pakai OJOL.

Berikut ini beberapa data data resmi dari pemerintah untuk menggambarkan betapa serius masalah GIZI ini di negara kita.


MASALAH SAMPAH PLASTIK SUDAH RED ALERT

.......adalah 6 bulan lalu, saat tak sengaja menonton tayangan Discovery Channel. Topiknya: sampah PLASTIK. Awalnya datar saja .... Sampai kemudian scene 'Plastik telah memenuhi sebagian pojokan Antartika, mengancam kehidupan pinguin, beruang kutub dan mahluk lucu lainnya disana. Saya ingat betul....mata terasa manas, berkaca kaca dan tak lama beberapa butir air hangat mengalir dari sana. Kemarin, bersama para wartawan 15 media nasional saya bertandang ke BALI PET, tempat pengelolaan sampah plastik binaan Danone A small step to save our mother nature. Btw, saya suka slogan mereka: We only have ONE planet, and ONE life. Smoga bs diejawantahkan menjadi program yang ramah bumi. Jangan cuma lips service doang. Amin. Buat teman yang belum tau, pada saat saya menulis postingan ini, INDONESIA masuk ranking 2 kategori negara penyumbang sampah plastik terbesar di DUNIA.. Head to head dengan China. Hastaga, negara lain mah rankin 2 besar untuk prestasi yang baik baik, ini koq ya penyumbang sampah terbesar. Susah memang untuk dipercaya, sampai suatu saat Anda bertandang ke lokasi pengelolaan sampah plastik semacam Bali Pet ini. Bayangkan, setiap buruh setidaknya "memegang" 1000 botol plastik per hari. Tugas mereka mengecek satu persatu botol plastik tersebut, adakah cacatnya....lalu jangan lupa tuk mencabuti label label merk pada body botol. Skali, lagi BAYANGKAN...1 buruh 1000 botol. Di tempat ini setidaknya ada 7-8 buruh yang berarti 8000 botol. Itu baru dari SATU industri berskala kecil menengah ini saja. Itu baru sampah botol plastik. Yang paling parah tentu kemasan kemasan plastik, juga termasuk tas keresek yang bisa dengan gampang Anda temukan "mengerut" terbawa ombak dan terdampar di pantai pantai. Atau, tak jarang yang sampai tertanah tanah di daratan.


JOURNALIST IN BLOOD

Sekarang, saya sudah tidak lagi aktif menjadi wartawan. Dalam arti tidak lagi mencari berita.Tapi tidak sedetik pun bidang jurnalistik benar benar saya tinggalkan sejak kali pertama saya berkarir di dunia media, 1996, hingga detik ini.

Selama 7 tahun terakhir saya menjadi MENTOR di Sekolah Jurnalis AJI INDONESIA. Saya juga menjadi Kepala Sekolah pada program 3 bulanan "Health and Nutrition Journalist Academy (HNJA) dan Co Mentor Utama (Wakepsek) untuk "Banking Journalist Academy (BJA)."

Saya sangat mencintai dunia kewartawanan (journalism): Dulu pelaku, kini pengajar.  Yep! Journalism is in my blood, my genetic. 

DAMPAK NEGATIF MEDIA PADA ANAK - Family Communication



 Saya diundang untuk memberikan pemaparan dan pandanga tentang dampak negatif MEDIA DIGITAL terhadap anak, oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) beberapa waktu lalu.

Children can easily cultivated by media, adults don't.

Saya katakan kepada para staf ahli kementrian, dan instansi terkait, bahwa "Ada alasan Tuhan mencipatakan umur." tapi seringkali orang dewasa memperlakukan anak anak selayaknya remaja, atau bahkan dewasa. Mereka lupa bahwa perkembangan cognitive, apalagi wisdom manusia itu tidak serta merta sempurna sedari balita. Anak, belum sempurna sense of right or wrongnya...at least sebelum mereka 13 tahun.  Sayangnya, media digital sekarang ini seakan tak peduli.........sikat bleh! Dan kekerasan pun ada dimana mana...lebih parah, generasi muda seperti numb/kebal/baal terhadap kekerasan. Dianggap biasa....dianggap keseruan....dianggap adegan game.

Feby Siahaan
Communication Enthusiast

MEDIA HANDLING TRAINING: KEMENTRIAN PERDAGANGAN (Eselon 1&2)

Reputasi adalah salah satu elemen penting bagi sebuah institusi, juga perseorangan.  Dan, baik buruknya reputasi seseorang tergantung seberapa piawai ia (atau perusahaan) dalam berkomunikasi dengan publik. Kenapa publik? Karena elemen yang menentukan apakah reputasi baik, atau buruk ya PUBLIK.  Seharum harumnya nama sebuah perusahaan di kalangan karyawan, tapi JIKA dimata publik reputasinya hancur, pembohong, penuh penipuan.....maka suara hati karyawan seperti tidak lagi bermakna.

Nah, dalam komunikasi massa maka MEDIA adalah perantara antara seseorang/institusi dengan publik. Media adalah MEDIATOR  Media adalah perpanjangan tangan masyarakat. Maka, saat media menangkap "sinyal buruk" pada Anda, besar kemungkinan sinyal buruk tersebut akan menjadi suara publik. Ya, suara media acap kali juga menjadi suara publik Karena media/pers adalah pembentuk opini publik.

Itu sebabnya, pelatihan wawancara ketika berkomunikasi dengan PERS/WARTAWAN/MEDIA adalah sebuah URGENSI.

REPUTASI adalah intangible asset yang jangan dianggap remeh.

Selama 10 tahun terakhir, pengalaman saya menjadi wartawan TEMPO juga mentor dan pengajar di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia telah saya sharing kepada ratusan hingga lebih dari seribu orang melalu Media Handling Training atau Media Workshop.

Ribuan pembaca juga telah membaca buku saya: I CAN SMELL YOUR BLOOD - 42 Kesalahan Juru Bicara dan Manajemen ketika menghadapi Media.

-----

Feby Siahaan
0815 11 0101 66
Communication Enthusiast

MEDIA HANDLING TRAINING

MEDIA HANDLING TRAINING: PERBANAS BANDUNG

Reputasi adalah salah satu elemen penting bagi sebuah institusi, juga perseorangan.  Dan, baik buruknya reputasi seseorang tergantung seberapa piawai ia (atau perusahaan) dalam berkomunikasi dengan publik. Kenapa publik? Karena elemen yang menentukan apakah reputasi baik, atau buruk ya PUBLIK.  Seharum harumnya nama sebuah perusahaan di kalangan karyawan, tapi JIKA dimata publik reputasinya hancur, pembohong, penuh penipuan.....maka suara hati karyawan seperti tidak lagi bermakna.

Nah, dalam komunikasi massa maka MEDIA adalah perantara antara seseorang/institusi dengan publik. Media adalah MEDIATOR  Media adalah perpanjangan tangan masyarakat. Maka, saat media menangkap "sinyal buruk" pada Anda, besar kemungkinan sinyal buruk tersebut akan menjadi suara publik. Ya, suara media acap kali juga menjadi suara publik Karena media/pers adalah pembentuk opini publik.

Itu sebabnya, pelatihan wawancara ketika berkomunikasi dengan PERS/WARTAWAN/MEDIA adalah sebuah URGENSI.

REPUTASI adalah intangible asset yang jangan dianggap remeh.

Selama 10 tahun terakhir, pengalaman saya menjadi wartawan TEMPO juga mentor dan pengajar di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia telah saya sharing kepada ratusan hingga lebih dari seribu orang melalu Media Handling Training atau Media Workshop.

Ribuan pembaca juga telah membaca buku saya: I CAN SMELL YOUR BLOOD - 42 Kesalahan Juru Bicara dan Manajemen ketika menghadapi Media.

-----

Feby Siahaan
0815 11 0101 66
Communication Enthusiast







Uneg Uneg Penting

Pak Jokowi, tolong masukkan Komunikasi ke dalam mata pelajaran wajib sekulah di Indonesia. Tentang Diskursi, Berargumentasi, Intra (Berpikir Kritis) dan Interpersonal Komunikasi......Digital Kuminikasi juga tuhhh, "Ketahanan Sosmed". Kalau ngga, lama lama ilang ini negara karena konflik horizontal dimana-mana. Trus itu pejabat ama anggota dewa-n/dewi-n terhormatt jangan melulu training Public Speaking.....Public LISTENING donk. Tar spiking molo, kapan dengerinnya?