Welcome to My Website. I studied engineering but later became a journalist, who then "rewarded" me with a Master's degree in Finance & Accounting ... but in the last 10 years, I trained and shared COMMUNICATION skills - not about money, or building materials. I fell in love with this knowledge, then deepened it scientifically as a Master in Communication Science. Now, I teach from Interpersonal, Self-Concept, Creative Writing, Family Communication to Media Handling Skills in corporations, government, and campus. That is ... my life is full of surprises and unusual dynamics.To know more about me, please follow my FB&IG at Feby.Siahaan

Pengakuan Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Sarmi Papua akan tanah dan hutannya



                                                           Oleh: Martha Karafir


“Tong su punya koperasi ini tapi tong masih belum bisa ambil kayu di situ, dong su tebang banyak kayu, tapi tong tetap begini saja padahal tong yang punya tanah ini”, ujaran polos Bapak Weinandus Weiraso, lelaki berusia setengah abad lebih yang berusaha menjelaskan kehidupannya bersama masyarakat di sepanjang Pantai Barat Sarmi.

Suatu siang di hari Kamis itu, para tua-tua adat suku Isirawa di 4 kampung sepanjang pantai Barat Sarmi, Papua dari kampung Martewar, kampung Aruswar, kampung Wari hingga kampung Niwerawar berkumpul bersama kami berdiskusi dan mengutarakan isi hati mereka selama mendiami tanah mereka berpuluh-puluh tahun lamanya. Kira-kira 15 orang banyaknya, meninggalkan sejenak aktifitas keseharian mereka untuk datang mengunjungi kami yang sudah berada di balai kampung, dan meyakini ada hal baik yang akan kami bagikan bukan sekedar datang dengan kata-kata kosong lalu pergi dan tidak akan pernah kembali.

Selain para tetua kampung, ada 20 keluarga yang tergabung dalam Koperasi Serba Usaha (KSU) Sapu Saniye berharap bahwa KSU ini dapat memberikan manfaat lebih untuk meningkatkan perekonomian mereka. Koperasi bentukan Dinas Kehutanan Provinsi Papua ini sudah terbentuk sejak tahun 2013. 

Berdasarkan fungsi kawasan hutan, lahan KSU Sapu Saniye seluas 4.441 hektar merupakan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Sampai saat ini masyarakat belum dapat menikmati hasil kayu dari tanah mereka dibandingkan dengan perusahaan kayu yang tentu saja mendapat izin dari Pemerintah untuk mengeksplotasi lahan di daerah mereka tanpa memikirkan jangka panjang akibat yang akan dialami oleh masyarakat sekitarnya khususnya generasi di masa depan.  

Dibawah pimpinan Bapak Weinandus Weiraso, yang merupakan ketua koperasi, diskusi siang itu membuka hati dan keteguhan kami untuk dapat membantu memberikan dampak baik sebagai hasil dari kedatangan kami. Bapak Weinandus Weiraso sendiri bukan merupakan masyarakat adat asli di Pantai Barat, beliau berasal dari suku Armati, Barat Daya Pantai Barat, di kampung Aurimi, Distrik Apawer Hulu. Namun beberapa tahun silam, Bapak Weinandus Weisaso menikah dengan wanita yang berasal dari kampung Aruswar sehingga mempunyai hak untuk mengelola lahan di kampung tersebut didasarkan atas keturunan istrinya dan diberikan kepercayaan untuk memimpin koperasi ini.

Geraldy, rekan sepekerjaan saya, bercakap santai dengan sebatang rokok ditangan, menjelaskan maksud  kedatangan kami: Bukan hanya melakukan pemetaan wilayah adat, bukan sekedar menggali kearifan lokal masyarakat, namun mengupayakan hak masyarakat adat untuk mengolah hutan mereka sendiri. Kami juga menjelaskan bahwa masih ada alternatif hasil hutan, selain kayu, yang dapat dimanfaatkan dan menghasilkan sepundi uang untuk bertahan hidup.

Salah satu warga, pak Esau Timi mengatakan bahwa terdapat banyak rotan di hutan namun mereka tidak tahu cara untuk dapat menjualnya dikarenakan belum pernah ada investor yang tertarik membelinya.  

Tidak mudah untuk memberikan pemahaman kepada penduduk lokal bahwa “menebang kayu” bukan satu-satunya jalan keluar untuk dapat menghasilkan uang. Berpuluh tahun mereka sudah dimanjakan dengan jalan pintas mendulang rejeki dari penebangan pohon. Masyarakat lugu dan polos ini tak sepenuhnya salah. Mereka hanya mencontoh bagaimana perusahaan besar bermodalkan izin konsesi memperkaya diri  di depan mata mereka bertahun-tahun lamanya.

Banyak pernyataan dan pertanyaan keluar dari mulut-mulut berkunyahkan pinang, menggugah rasa keinginantahuan mereka, “sa pernah keluar Papua, baru tau kalo dong jual kayu-kayu diluar Papua tuh mahal sekali, bahkan perusahaan disini saja bisa jual Rp 80.000 perkayu tergantung kubik, tapi kalo tong yang jual murah sekali, kurang dari itu, macam tidak adil kah”, ungkapan tegas seorang pemuda lokal, yang sedari tadi sangat antuis dengan pertemuan ini.

Ah, adik. Saya pun terkadang bingung dengan semua kejadian ini.

(Tulisan ini adalah salah satu hasil dari latihan pada training ‘Creative Writing for Researcher’ – 17-18 Desember 2019 di Jakarta) 

Mengurai Benang Merah Tingginya Konflik Lahan di Indonesia


oleh Azam Hawari

Pada saat bulldozer menghancurkan rumah-rumah kami dengan kawalan polisi bersenjata, tidak ada satupun dari kami yang berani untuk melakukan apapun, kecuali menangis,”ucap perempuan paruh baya itu dengan tatapan nanar.

Tahun 2015, rumahnya yang berada di dusun Cawang Gumilir digusur karena diklaim sebagai kawasan konservasi. Setelah penggusuran banyak warga senasib yang memutuskan pulang kampung di kawasan Lampung, Jambi dan Riau. Bua tapa tetap tinggal, toh mereka tidak punya lahan lagi untuk ditempati.

Kasus Cawang Gumilir merupakan satu dari banyak konflik lahan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria, sepanjang tahun 2018 telah terjadi 410 kasus konflik lahan di Indonesia, yang berdampak pada 87.658 keluarga. Tingginya angka ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti tata kelola lahan yang buruk, minimnya data dan informasi terkait status lahan, korupsi, hingga kurangnya kapasitas pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat dalam menyelesaikan konflik lahan secara efektif.

Pertama, tata kelola lahan yang buruk menjadi faktor penting dari konflik lahan. Sebagai contoh, pembagian kewenangan tata kelola lahan yang dibagi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, berimplikasi pada tersebarnya lembaga penanganan konflik lahan. Hal ini ditambah dengan berbagai kebijakan dari pemerintah yang menugaskan banyak tim adhoc untuk menangani konflik lahan seperti Gugus Tugas Reforma Agraria, Tim Inver PPKTH, Pokja Perhutanan Sosial, dan lain-lain.

Berbagai lembaga ini seringkali tidak berkoordinasi dengan baik. Akibatnya, banyak kasus laporan masyarakat ditolak dengan alasan bukan kewenangan lembaga tersebut. Pun jika diterima, laporan tersebut seringkali dilemparkan ke lembaga lainnya.

Kedua, minimnya sistem data dan informasi berdampak pada ketidakjelasan status lahan. Keadaan ini menimbulkan perbedaan klaim lahan. Tanpa adanya status lahan yang jelas, konsensus antar para pihak yang berkonflik sulit untuk dicapai. Bahkan apabila konsensus tersebut telah dicapat, terdapat potensi kemunculan konflik baru yang berkaitan dengan status lahan ini.

Korupsi berkontribusi terhadap kualitas tata kelola lahan yang amburadul di negeri ini. Misalnya, aksi suap menyuap agar dapat izin bisnis, padahal Amdalnya bermasalah. Alahasil, segala catatan buruk dampak lingkungan pada laporan Amdal, terabaikan saat izin bisnis keluar. Miris.

Kapasitas pemangku kepentingan dalam penanganan konflik juga dibutuhkan. Sebab, konflik lahan membutuhkan pemahaman konteks sosio-ekonomi disamping pendekatan hukum. Seringkali, masyarakat yang bernegoisasi tidak mengetahui hak-haknya dan menandatangani dokumen yang tidak mereka pahami dengan baik. Akibatnya, jika kesepakatan tersebut ternyata merugikan masyarakat secara ekonomi, mereka akan menuntut kembali dan perusahaan akan menolak mengakomodasi permintaan warga dengan dasar kesepakatan tersebut. Keadaan seperti ini seringkali membuat jalan buntu dalam penyelesaian konflik lahan.

Oleh karena itu, penanganan konflik lahan memerlukan adanya perbaikan tata kelola lahan melalui peningkatan koordinasi antar lembaga, harmonisasi kebijakan, dan sistem pelaporan konflik yang terintegrasi. Selain itu, perlu adanya sistem data dan informasi yang terbuka dan terintegrasi.

Kebijakan satu peta merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan agar dapat menangani sekaligus mencegah konflik lahan. Perbaikan sistem perizinan dibutuhkan agar celah-celah korupsi tersebut tertutup sehingga dapat meminimalisasi konflik yang timbul dari penerbitan izin.

Terakhir, peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dapat dilakukan agar seluruh pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik setara dan dapat benar-benar mengakomodasi kepentingan dari para pihak secara optimal.

(Tulisan ini adalah salah satu hasil dari latihan pada training ‘Creative Writing for Researcher’ – 17-18 Desember 2019 di Jakarta)