Oleh: Martha Karafir
“Tong su punya koperasi
ini tapi tong masih belum bisa ambil kayu di situ, dong su tebang banyak kayu,
tapi tong tetap begini saja padahal tong yang punya tanah ini”, ujaran polos
Bapak Weinandus Weiraso, lelaki berusia setengah abad lebih yang berusaha
menjelaskan kehidupannya bersama masyarakat di sepanjang Pantai Barat Sarmi.
Suatu siang di
hari Kamis itu, para tua-tua adat suku Isirawa di 4 kampung sepanjang pantai
Barat Sarmi, Papua dari kampung Martewar, kampung Aruswar, kampung Wari hingga
kampung Niwerawar berkumpul bersama kami berdiskusi dan mengutarakan isi hati
mereka selama mendiami tanah mereka berpuluh-puluh tahun lamanya. Kira-kira 15
orang banyaknya, meninggalkan sejenak aktifitas keseharian mereka untuk datang
mengunjungi kami yang sudah berada di balai kampung, dan meyakini ada hal baik
yang akan kami bagikan bukan sekedar datang dengan kata-kata kosong lalu pergi
dan tidak akan pernah kembali.
Selain para
tetua kampung, ada 20 keluarga yang tergabung dalam Koperasi Serba Usaha (KSU)
Sapu Saniye berharap bahwa KSU ini dapat memberikan manfaat lebih untuk
meningkatkan perekonomian mereka. Koperasi bentukan Dinas Kehutanan Provinsi
Papua ini sudah terbentuk sejak tahun 2013.
Berdasarkan fungsi kawasan hutan, lahan
KSU Sapu Saniye seluas 4.441 hektar merupakan kawasan hutan produksi yang dapat
dikonversi. Sampai saat ini masyarakat belum dapat menikmati hasil kayu dari
tanah mereka dibandingkan dengan perusahaan kayu yang tentu saja mendapat izin dari
Pemerintah untuk mengeksplotasi lahan di daerah mereka tanpa memikirkan jangka
panjang akibat yang akan dialami oleh masyarakat sekitarnya khususnya generasi
di masa depan.
Dibawah pimpinan
Bapak Weinandus Weiraso, yang merupakan ketua koperasi, diskusi siang itu
membuka hati dan keteguhan kami untuk dapat membantu memberikan dampak baik
sebagai hasil dari kedatangan kami. Bapak Weinandus Weiraso sendiri bukan
merupakan masyarakat adat asli di Pantai Barat, beliau berasal dari suku
Armati, Barat Daya Pantai Barat, di kampung Aurimi, Distrik Apawer Hulu. Namun
beberapa tahun silam, Bapak Weinandus Weisaso menikah dengan wanita yang
berasal dari kampung Aruswar sehingga mempunyai hak untuk mengelola lahan di
kampung tersebut didasarkan atas keturunan istrinya dan diberikan kepercayaan
untuk memimpin koperasi ini.
Geraldy, rekan
sepekerjaan saya, bercakap santai dengan sebatang rokok ditangan, menjelaskan
maksud kedatangan kami: Bukan hanya
melakukan pemetaan wilayah adat, bukan sekedar menggali kearifan lokal
masyarakat, namun mengupayakan hak masyarakat adat untuk mengolah hutan mereka
sendiri. Kami juga menjelaskan bahwa masih ada alternatif hasil hutan, selain
kayu, yang dapat dimanfaatkan dan menghasilkan sepundi uang untuk bertahan
hidup.
Salah satu
warga, pak Esau Timi mengatakan bahwa terdapat banyak rotan di hutan namun
mereka tidak tahu cara untuk dapat menjualnya dikarenakan belum pernah ada
investor yang tertarik membelinya.
Tidak mudah
untuk memberikan pemahaman kepada penduduk lokal bahwa “menebang kayu” bukan
satu-satunya jalan keluar untuk dapat menghasilkan uang. Berpuluh tahun mereka
sudah dimanjakan dengan jalan pintas mendulang rejeki dari penebangan pohon. Masyarakat lugu
dan polos ini tak sepenuhnya salah. Mereka hanya mencontoh bagaimana perusahaan
besar bermodalkan izin konsesi memperkaya diri di depan mata
mereka bertahun-tahun lamanya.
Banyak pernyataan
dan pertanyaan keluar dari mulut-mulut berkunyahkan pinang, menggugah rasa
keinginantahuan mereka, “sa pernah keluar Papua, baru tau kalo dong jual
kayu-kayu diluar Papua tuh mahal sekali, bahkan perusahaan disini saja bisa
jual Rp 80.000 perkayu tergantung kubik, tapi kalo tong yang jual murah sekali,
kurang dari itu, macam tidak adil kah”, ungkapan tegas seorang pemuda lokal,
yang sedari tadi sangat antuis dengan pertemuan ini.
Ah, adik. Saya
pun terkadang bingung dengan semua kejadian ini.
(Tulisan ini adalah salah satu hasil dari latihan pada training ‘Creative
Writing for Researcher’ – 17-18 Desember 2019 di Jakarta)