Welcome to My Website. I studied engineering but later became a journalist, who then "rewarded" me with a Master's degree in Finance & Accounting ... but in the last 10 years, I trained and shared COMMUNICATION skills - not about money, or building materials. I fell in love with this knowledge, then deepened it scientifically as a Master in Communication Science. Now, I teach from Interpersonal, Self-Concept, Creative Writing, Family Communication to Media Handling Skills in corporations, government, and campus. That is ... my life is full of surprises and unusual dynamics.To know more about me, please follow my FB&IG at Feby.Siahaan

Mengurai Benang Merah Tingginya Konflik Lahan di Indonesia


oleh Azam Hawari

Pada saat bulldozer menghancurkan rumah-rumah kami dengan kawalan polisi bersenjata, tidak ada satupun dari kami yang berani untuk melakukan apapun, kecuali menangis,”ucap perempuan paruh baya itu dengan tatapan nanar.

Tahun 2015, rumahnya yang berada di dusun Cawang Gumilir digusur karena diklaim sebagai kawasan konservasi. Setelah penggusuran banyak warga senasib yang memutuskan pulang kampung di kawasan Lampung, Jambi dan Riau. Bua tapa tetap tinggal, toh mereka tidak punya lahan lagi untuk ditempati.

Kasus Cawang Gumilir merupakan satu dari banyak konflik lahan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria, sepanjang tahun 2018 telah terjadi 410 kasus konflik lahan di Indonesia, yang berdampak pada 87.658 keluarga. Tingginya angka ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti tata kelola lahan yang buruk, minimnya data dan informasi terkait status lahan, korupsi, hingga kurangnya kapasitas pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat dalam menyelesaikan konflik lahan secara efektif.

Pertama, tata kelola lahan yang buruk menjadi faktor penting dari konflik lahan. Sebagai contoh, pembagian kewenangan tata kelola lahan yang dibagi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, berimplikasi pada tersebarnya lembaga penanganan konflik lahan. Hal ini ditambah dengan berbagai kebijakan dari pemerintah yang menugaskan banyak tim adhoc untuk menangani konflik lahan seperti Gugus Tugas Reforma Agraria, Tim Inver PPKTH, Pokja Perhutanan Sosial, dan lain-lain.

Berbagai lembaga ini seringkali tidak berkoordinasi dengan baik. Akibatnya, banyak kasus laporan masyarakat ditolak dengan alasan bukan kewenangan lembaga tersebut. Pun jika diterima, laporan tersebut seringkali dilemparkan ke lembaga lainnya.

Kedua, minimnya sistem data dan informasi berdampak pada ketidakjelasan status lahan. Keadaan ini menimbulkan perbedaan klaim lahan. Tanpa adanya status lahan yang jelas, konsensus antar para pihak yang berkonflik sulit untuk dicapai. Bahkan apabila konsensus tersebut telah dicapat, terdapat potensi kemunculan konflik baru yang berkaitan dengan status lahan ini.

Korupsi berkontribusi terhadap kualitas tata kelola lahan yang amburadul di negeri ini. Misalnya, aksi suap menyuap agar dapat izin bisnis, padahal Amdalnya bermasalah. Alahasil, segala catatan buruk dampak lingkungan pada laporan Amdal, terabaikan saat izin bisnis keluar. Miris.

Kapasitas pemangku kepentingan dalam penanganan konflik juga dibutuhkan. Sebab, konflik lahan membutuhkan pemahaman konteks sosio-ekonomi disamping pendekatan hukum. Seringkali, masyarakat yang bernegoisasi tidak mengetahui hak-haknya dan menandatangani dokumen yang tidak mereka pahami dengan baik. Akibatnya, jika kesepakatan tersebut ternyata merugikan masyarakat secara ekonomi, mereka akan menuntut kembali dan perusahaan akan menolak mengakomodasi permintaan warga dengan dasar kesepakatan tersebut. Keadaan seperti ini seringkali membuat jalan buntu dalam penyelesaian konflik lahan.

Oleh karena itu, penanganan konflik lahan memerlukan adanya perbaikan tata kelola lahan melalui peningkatan koordinasi antar lembaga, harmonisasi kebijakan, dan sistem pelaporan konflik yang terintegrasi. Selain itu, perlu adanya sistem data dan informasi yang terbuka dan terintegrasi.

Kebijakan satu peta merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan agar dapat menangani sekaligus mencegah konflik lahan. Perbaikan sistem perizinan dibutuhkan agar celah-celah korupsi tersebut tertutup sehingga dapat meminimalisasi konflik yang timbul dari penerbitan izin.

Terakhir, peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dapat dilakukan agar seluruh pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik setara dan dapat benar-benar mengakomodasi kepentingan dari para pihak secara optimal.

(Tulisan ini adalah salah satu hasil dari latihan pada training ‘Creative Writing for Researcher’ – 17-18 Desember 2019 di Jakarta) 

Tidak ada komentar: