oleh Azam Hawari
“Pada saat bulldozer menghancurkan rumah-rumah kami dengan kawalan
polisi bersenjata, tidak ada satupun dari kami yang berani untuk melakukan
apapun, kecuali menangis,”ucap perempuan paruh baya itu dengan tatapan
nanar.
Tahun 2015, rumahnya yang berada di dusun Cawang Gumilir digusur karena diklaim
sebagai kawasan konservasi. Setelah penggusuran banyak warga senasib yang memutuskan
pulang kampung di kawasan Lampung, Jambi dan Riau. Bua tapa tetap tinggal, toh
mereka tidak punya lahan lagi untuk ditempati.
Kasus Cawang Gumilir merupakan satu dari banyak konflik lahan yang
terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria,
sepanjang tahun 2018 telah terjadi 410 kasus konflik lahan di Indonesia, yang
berdampak pada 87.658 keluarga. Tingginya angka ini disebabkan oleh berbagai
hal, seperti tata kelola lahan yang buruk, minimnya data dan informasi terkait
status lahan, korupsi, hingga kurangnya kapasitas pemerintah daerah,
perusahaan, dan masyarakat dalam menyelesaikan konflik lahan secara efektif.
Pertama, tata kelola lahan yang buruk menjadi faktor penting dari
konflik lahan. Sebagai contoh, pembagian kewenangan tata kelola lahan yang
dibagi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, berimplikasi pada
tersebarnya lembaga penanganan konflik lahan. Hal ini ditambah dengan berbagai
kebijakan dari pemerintah yang menugaskan banyak tim adhoc untuk
menangani konflik lahan seperti Gugus Tugas Reforma Agraria, Tim Inver PPKTH,
Pokja Perhutanan Sosial, dan lain-lain.
Berbagai lembaga ini seringkali tidak berkoordinasi dengan baik.
Akibatnya, banyak kasus laporan masyarakat ditolak dengan alasan bukan
kewenangan lembaga tersebut. Pun jika diterima, laporan tersebut seringkali
dilemparkan ke lembaga lainnya.
Kedua, minimnya sistem data dan informasi berdampak pada ketidakjelasan
status lahan. Keadaan ini menimbulkan perbedaan klaim lahan. Tanpa adanya
status lahan yang jelas, konsensus antar para pihak yang berkonflik sulit untuk
dicapai. Bahkan apabila konsensus tersebut telah dicapat, terdapat potensi kemunculan
konflik baru yang berkaitan dengan status lahan ini.
Korupsi berkontribusi terhadap kualitas tata kelola lahan yang amburadul
di negeri ini. Misalnya, aksi suap menyuap agar dapat izin bisnis, padahal Amdalnya
bermasalah. Alahasil, segala catatan buruk dampak lingkungan pada laporan
Amdal, terabaikan saat izin bisnis keluar. Miris.
Kapasitas pemangku kepentingan dalam penanganan konflik juga dibutuhkan.
Sebab, konflik lahan membutuhkan pemahaman konteks sosio-ekonomi disamping
pendekatan hukum. Seringkali, masyarakat yang bernegoisasi tidak mengetahui
hak-haknya dan menandatangani dokumen yang tidak mereka pahami dengan baik.
Akibatnya, jika kesepakatan tersebut ternyata merugikan masyarakat secara
ekonomi, mereka akan menuntut kembali dan perusahaan akan menolak mengakomodasi
permintaan warga dengan dasar kesepakatan tersebut. Keadaan seperti ini
seringkali membuat jalan buntu dalam penyelesaian konflik lahan.
Oleh karena itu, penanganan konflik lahan memerlukan adanya perbaikan
tata kelola lahan melalui peningkatan koordinasi antar lembaga, harmonisasi
kebijakan, dan sistem pelaporan konflik yang terintegrasi. Selain itu, perlu
adanya sistem data dan informasi yang terbuka dan terintegrasi.
Kebijakan satu peta merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan agar
dapat menangani sekaligus mencegah konflik lahan. Perbaikan sistem perizinan
dibutuhkan agar celah-celah korupsi tersebut tertutup sehingga dapat
meminimalisasi konflik yang timbul dari penerbitan izin.
Terakhir, peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dapat dilakukan
agar seluruh pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik setara dan dapat
benar-benar mengakomodasi kepentingan dari para pihak secara optimal.
(Tulisan ini adalah salah satu hasil dari latihan pada training ‘Creative Writing for Researcher’ – 17-18 Desember 2019 di Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar