Welcome to My Website. I studied engineering but later became a journalist, who then "rewarded" me with a Master's degree in Finance & Accounting ... but in the last 10 years, I trained and shared COMMUNICATION skills - not about money, or building materials. I fell in love with this knowledge, then deepened it scientifically as a Master in Communication Science. Now, I teach from Interpersonal, Self-Concept, Creative Writing, Family Communication to Media Handling Skills in corporations, government, and campus. That is ... my life is full of surprises and unusual dynamics.To know more about me, please follow my FB&IG at Feby.Siahaan

Seorang Wartawati 2 Minggu Tinggal di RS Terapung. Ikuti Tulisannya : "12 JAM UNTUK SELAMANYA" (Bag 1)

Selama 14 hari, wartawati Jawa Pos Ferlynda Putri ikut melaut bersama RS Terapung Ksatria Airlangga . Misi kapal ini adalah mendatangi pulau pulau terpencil, yang di peta hanya terlihat seperti noktah merah atau hitam. Pulau yang begitu terpencilya,  hingga luput dan  tak terjamah oleh fasilitas kesehatan yang mumpuni. 

Liputan yang kemudian berbuah sebuah tulisan panjang ciamik ini, adalah syarat kelulusan dari Program Health & Nutrition Journalist Academy (HNJA) 2019 yang diselenggarakan oleh Sekolah AJI Indonesia. Sebuah kegiatan tahunan berdurasi tiga bulan bagi wartawan nasional yang meliput isu isu kesehatan.

Wartawan tangguh siap menanggung semua konsekwensi demi menyajikan informasi terbaik bagi pembaca. Mengarungi laut lepas, ombak besar dan angin laut yang sering tak bersahabat adalah harga yang harus dibayar. Belum lagi harus meneguh teh manis rasa garam nyaris setiap hari, makan dengan menu terbatas dan tidur diantara peralatan ruang operasi atau tumpukan obat obatan. Maklum, kapal ini bukan sebesar Titanic....sebuah kapan ala Phinisi berukuran sedang saja. 

Liputan investigasi ini sudah dimuat di Koran Jawa Pos edisi 10 November 2019. Namun tulisan yang dimuat di situs ini adalah versi non edited, supaya Anda lebih puas membacanya.

Selamat membaca.
Febs - Kepala Sekolah HNJA 2019

----------------- ------------------ -------------------------- ------------------------------

Sawanti yang malang, dari Desa Matalaang, Kecamatan Liukang Kepulauan Pangkajene.

Perempuan ini kehilangan janin berusia lima bulan diperutnya. Kandungannya yang lemah, membuat janin  harus lahir prematur. Sayang, masalah timbul ditengah persalinan. Ari ari lengket, dan tidak bisa keluar. Mantri puskesmas bingung, tak tau harus berbuat apa. Mau tak mau Sawanti harus dirujuk ke rumah sakit di perkotaan.

Tapi Pangkajene bukan seperti Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu, yang gampang mencari kapal menuju kota besar. Tak banyak pilihan angkutan, yang ada hanya lautan. Kota terdekat adalah Makassar yang bisa dicapai dengan 12 jam perjalanan laut. Pun, saat itu sedang musim ombak besar. Maklum, itu bulan Agustus yang oleh warga kampung disebut musim sulit. Musim angin menyebabkan ombak tinggi. Jika nekat nyebrang, risikonya nyawa melayang.

Suami Sawanti, Basri, tidak bisa segera melarikan istrinya ke Makasar. Tidak ada juragan kapal yang mau meminjamkan kapalnya hari itu. Sementara itu kapal perintis belum bisa bersandar di Pulau Matalaang. Dua hari Sawanti harus menahan sakit. Ari-arinya masih belum keluar.

"Saya pinjam perahu saudara. Saya nekat ke Makasar ditemani ponakan yang baru lulus sekolah kebidanan," tutur Basri dengan dialeg Makasarnya.

Ombak masih tinggi. Basri yang menjadi juru kemudi. Disampingnya, Sawanti tidur menahan sakit dan pasrah menunggu nasib.

Menurut keterangan saudaranya, tali ari-ari atau plasenta sudah di lubang vagina. Agar tak kembali masuk, maka diikat. Basri tentu tak tega melihat keadaan sang istri. "Ada darah. Saat sudah dekat Makasar, ari-ari itu masuk," kenangnya. Kejadian ini membuatnya tambah panik. Sayang, kapal tak bisa melaju lebih cepat.

Kejadian tersebut tak bisa dilupakan pasangan suami istri yang sudah dikaruniai 11 anak itu. Beruntung nasib baik masih berpihak. Tim dokter di Makasar berhasil membantu mengeluarkan ari-ari dan Sawanti berhasil diselamatkan, walau ia harus kehilangan buah hati.
*
Kasus kehamilan berisiko tinggi memang banyak di Liukang.

Camat Liukang Tangaya Aminullah Umar menyatakan, penyebabnya adalah kebiasaan pernikahan dini yang sulit dihentikan. Disana, anak laki-laki yang sudah bisa menyelam untuk mencari ikan dibolehkan untuk menikah. Bahkan, anak laki-laki yang akan bekerja harus menikah terlebih dahulu. Alasannya agar uang hasil mencari ikan tidak lari ke mana-mana.

Mau menuntut ilmu tinggi tinggi pun susah. Sekolah hanya sampai SMA. Itupun hanya ada di beberapa pulau. Tak ada pilihan, plus tak banyak hiburan. Maka, pernikahan dini pun semakin terbuka lebar.

Selain risiko dalam kehamilan, pernikahan dini juga berisiko dalam hal pengasuhan. Akibatnya adalah stunting. Dokter Andi Cahyadi SpA yang turut dalam pelayanan Ksatria Airlangga di Pulau Matalaang dan Sapuka menyatakan bahwa lebih dari 50 persen anak yang diperiksa di RS Terapung, mengalami stunting.

Dokter spesialis anak RSUD dr Soetomo itu menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan sosial ekonomi masyarakat. Sebagian besar penduduk memang nelayan. Lucunya, anak-anaknya justru sedikit mengkonsumsi ikan. Mungkin karena berpikir lebih baik dijual, supaya dapat uang. Selain itu, angka cacingan juga tinggi karena tidak ada jamban. Semua ini berakumulasi memorak-morandakan kesehatan anak.

Permasalahan lainnya adalah soal sistem rujukan. Meski ada puskesmas, namun untuk kasus-kasus sulit rata-rata dirujuk. Tidak ada tenaga kesehatan yang mumpuni.

Nah, untuk mencapai rumah sakit rujukan harus menggunakan kapal. Jika tidak ada jadwal kapal perintis, maka menggunakan kapal nelayan. Lamanya perjalanan kerap kali membuat fatal kondisi si sakit. Seperti yang dialami Darmawan. Perempuan yang kerap disapa Darma itu harus kehilangan suaminya, Sahrirudin, yang mengalamin stroke. Mantan mantri di Pulau Sailus itu meninggal di atas kapal perintis menuju Makasar. "Seandainya cepat, mungkin suami saya tertolong," ungkap Darma. Matanya berkaca-kaca.

Untuk menangani peliknya permasalahan kesehatan di wilayahnya, Pemda Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) sebenarnya sudah melakukan berbagai macam hal. Kepala Dinas Kesehatan Pangkep dr Indriyanty Latief mengungkapkan sudah ada upaya mengurangi kehamilan berisiko dan stunting. Kapal untuk rujukan pun sudah disediakan meski sarana pendukungnya minimal dan biaya pengoperasian cukup tinggi. "APBD kami tidak banyak. Harapannya ada perhatian dari pusat," tuturnya.

Cerita yang dialami warga Liukang baru satu contoh. Masih banyak warga senasib di kepulauan yang terpencil dan tersebar.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengaku komit untuk memperbaiki pelayanan kesehatan bersama dengan pemerintah daerah. Sarana dan fasilitas kesehatan akan dipenuhi. Begitu juga dengan tenaga kesehatan. Menurutnya hal itu sesuai dengan visi misi Presiden Joko Widodo. Kemenkes juga akan berupaya untuk menyediakan alat kesehatan dan obat yang terjangkau. Salah satu upayanya adalah mengoptimalkan produksi dalam negeri. Sejauh ini, Indonesia telah bisa membuat tempat tidur hingga stand jantung. ”Kalau perlu, ada aturan BPJS Kesehatan atau perhimpunan tenaga kesehatan agar membujuk menggunakan alat kesehatan dalam negeri,” bebernya

Lalu bagaimana dengan stunting? Menurutnya, masalah ini secara nasional akan ditangani antar kementerian dan lembaga. Intervensi tidak hanya dari Kemenkes saja. Sebab dana penanggulangan stunting ada di setiap kementerian dan lembaga. Kemenkes hanya leading sector saja. Intervensi akan dimulai sejak sebelum menikah, setelah menikah, hamil, melahirkan, memelihara, hingga sekolah. Antara satu wilayah dengan yang lainnya akan mendapat intervensi berbeda dan sesuai dengan kearifan lokal.





(bersambung)

Tidak ada komentar: