Welcome to My Website. I studied engineering but later became a journalist, who then "rewarded" me with a Master's degree in Finance & Accounting ... but in the last 10 years, I trained and shared COMMUNICATION skills - not about money, or building materials. I fell in love with this knowledge, then deepened it scientifically as a Master in Communication Science. Now, I teach from Interpersonal, Self-Concept, Creative Writing, Family Communication to Media Handling Skills in corporations, government, and campus. That is ... my life is full of surprises and unusual dynamics.To know more about me, please follow my FB&IG at Feby.Siahaan

Suka Duka RS Terapung Airlangga: Operasi Katarak Kala Kapal Bergoyang (Tamat)



Bayangkan. Ombak sedang tak bersahabat, tapi operasi mata harus tetap dilakukan….

*

Suatu hari siang bolong, di Puskesmas Pembantu (Pustu) Desa Mataalang, Kecamatan Liukang.

Dokter Trianggono Bagus Aryanto, sudah siap mengambil tindakan atas pasien ibu hamil dihadapannya. Di tangannya sudah tergenggengam peralatan untuk pemeriksaan. Tetiba saja ia sadar akan sesuatu,

“Saya perlu listrik untuk USG, ada genset?”

Dalam sekejab belasan bapak yang sebenarnya sedang antri untuk berobat, sibuk bergerak kesana kemari, mencari genset. Maklumlah, di desa ini semua terbatas. Apalagi listrik. Sumber energi itu hanya tersedia di malam hari. Itu sebab pemeriksaan masih bisa di desa, namun jika harus ada operasi maka pasien harus di boyong ke RS Terapung.

Genset pertama dibawa ke pustu.

‘Grrrrrkkkkk……brettt…betttt….ettttt.” Beberapa kali tuas ditarik dan gagal.

Hampir menyerah, datang genset kedua. Hanya satu dua tarikan saja, berhasil

Hari-hari berikutnya, kami harus menjadwal untuk mengisi batre handphone. Meski tak ada sinyal internet dan hanya satu operator telepon saja yang bisa masuk, kami tak bisa lepas dari

Selain listrik dan sinyal yang sulit, air pun terbatas. Di Pulau Sapuka, perhentian kami yang berikutnya, hampir semua sumur payau. Anyepnya air paling terasa saat menyikat gigi. Duh! Kecut di bibir. Tapi apa mau dikata. Teh manis saja bisa berasa asin, bukan manis.

Di kapal, semua orang harus menghafalkan warna pralon. Untuk mandi, maka yang dinyalakan adalah kran dengan peralon warna putih. Itu tandanya air tawar. Sementara untuk menyiram kotoran, gunakan keran dengan peralon biru yang dialiri oleh air laut.

Pengalaman lainnya adalah operasi di dalam kapal. Saat itu kami masih berlabuh di dekat Pulau Matalaang. Kapal tak bisa menepi karena air surut. Sehingga kapal buang jangkar agak jauh dari dermaga. Angin bertiup agak kencang. Ombak mengayun-ayunkan kapal. Kalau yang tak biasa, satu jam saja di atas kapal sudah mabok laut.
*
Suatu hari dalam perjalanan kami, Dokter Ganesa Wardana dan Dokter Zulfikri Halim mendapat banyak pasien mata. Warga pesisir dan kepulauan memang rawan penyakit mata. Hal ini karena paparan sinar matahari yang lama. Beberapa orang dijadwalkan operasi untuk mengambil selaput pada matanya. Ada juga yang harus operasi katarak.

Mereka berdua melakukan operasi di ruang operasi atas, khusus operasi minor. Satu jam berlalu dan baik-baik saja. Satu pasien terlewati. Namun pada operasi selanjutnya, perut mual tak tertahankan.

"Perlu hati-hati juga karena kapal ada goyangan," ucap Zulfikri saat bertemu Jawa Pos di dapur kapal. Dia akan mengambil makan. Mengisi perut agar tak kosong. Konon ketika perut kenyang, risiko mabok laut berkurang.

Hal-hal serupa juga terjadi dipulau selanjutnya, Sapuka dan Sailus. Warga nampaknya rindu dengan aksi bakti sosial ini. Hal itu terbukti dari banyaknya warga yang tidak melaut. Pengobatan dengan membawa dokter spesialis ini dirasakan warga 15 tahun lalu. "Dulu kalau mau periksa harus di kapal. Jadi sekarang warga sudah menyiapkan perahunya," tutur Kapolsek Liukang Tangaya Supriyadi. Menurutnya, beberapa warga tanya kapan RSTKA  datang lagi. "Setiap tahun sekali ada kegiatan, masyarakat sudah bersyukur," ucapnya.

Di Pulau Sailus, sambutan warga tergambar sejak kapal akan merapat di pulau. Satu kapal dengan bendera warna-warni menyambut Ksatria Airlangga. Dalam kapal itu, empat orang lelaki menabuh gamelan. Meriah.

"Harusnya tiap propinsi yang memiliki pulau, wajib memiliki rumah sakit terapung," saran Direktur RSTKA dr Agus Harianto. Kapal menjadi langkah strategis untuk mendekatkan layanan kesehatan pada masyarakat kepulauan. Sehingga setidaknya masyarakat dapat tertangani, tak perlu menunggu untuk dirujuk. "Ini kewajiban pemerintah," imbuhnya.

Sepuluh hari Ksatria Airlangga melayani masyarakat di Kecamatan Liukang Tangaya. Setiap orang yang di dalamnya mungkin sudah kebal dengan gelombang laut. Di penghujung hari ke-10 sang Ksatria menuju Labuan Bajo, mengantarkan punggawanya kembali. Di perjalanan, kawanan lumba-lumba bermain di sekitar kapal. Mereka berenang mengiringi kapal yang melaju. Sesekali melompat. Mungkin, ini salah satu pengingat bahwa di tengah laut sana ada masyarakat yang masih butuh obat. (lyn)
Tim Medis RS Terapung

Transfer Pasien ke RS Terapung



Wartawai Peliput RS Terapung

Tidak ada komentar: