Oleh Anindita Nur
Annisa
Temaram malam menemani kami - para peneliti - menyantap hidangan
ikan bakar serta cumi cabai hijau yang baru selesai dimasak. Suara ombak
berdebur pelan dari tepi rumah panggung tempat menginap. Hati bahagia, semua
terasa sempurna…….sampai tiba pada urusan maha penting itu: Mengisi baterai
ponsel alias nge-charge. Deg! Dada serasa
digodam. Ternyata listrik tak cukup.
Begitulah kehidupan sehari-hari di Pulau
Kabung, Kalimantan Barat, lokasi penelitian terkait listrik panel
surya selama beberapa hari.
Sudah 74 tahun Indonesia merdeka, namun baru
empat tahun terakhir penduduk Pulau Kabung merasakan listrik. Itupun ala
kadarnya. Tahun 2016, Kementerian ESDM menyumbangkan satu set panel surya lengkap
dengan baterai untuk melistriki 220 keluarga di Pulau Kabung yang mayoritas
berprofesi sebagai nelayan. Listrik yang diberika terbatas, hanya 300 watt per
rumah. Paling paling cukup untuk lampu serta satu- dua peralatan elektronik
seperti TV. Makin miris karena beberapa bulan terakhir listrik mulai tidak
stabil karena adanya kerusakan pada salah satu panel surya.
Nestapa warga Kabung sangat kontras dengan masyarakat
perkotaan yang bergelimang listrik. Bulan Agustus lalu, masyarakat Jakarta dan sebagian
Jawa Barat serasa kiamat lokal karena PLN ngadat seharian. Sosial Media spontan
dipenuhi caci maki. Cercaan terhadap Perusahaan Listrik Negara muncul
disana-sini. Padahal gelap ‘sehari’ saja. Klimaksnya adalah saat presiden
menjambangi kantor PLN membawa murka. Barangkali warga ibukota tak tau,
dibanyak pelosok negara ini, fenomena hidup dalam gelap adalah santapan
sehari-hari banyak keluarga. Padahal, listrik merupakan elemen kunci yang dapat
mendorong pemberdayaan masyarakat setempat. Penduduk Pulau Kabung, misalnya, dapat
meningkatkan kapasitas hasil lautnya jika mereka bisa memasang kulkas untuk
menyimpan hasil lautnya agar lebih tahan lama.
Energi terbarukan (ET) sesungguhnya bisa
menjadi solusi yang tepat untuk melistriki Indonesia Timur serta wilayah
Indonesia dengan akses yang sangat sulit. Pemerintah Indonesia juga sudah
memberikan sumbangan pembangkit listrik energi terbarukan ke berbagai daerah di
Indonesia secara cuma-cuma. Sayangnya, masih terdapat tantangan dalam
pengelolaan pembangkit energi terbarukan yang membuat operasional tidak bisa
berjalan baik. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 142 proyek ET yang mangkrak
dengan total nilai kerugian sebesar Rp 1,17 triliun.
Energi terbarukan adalah energi yang berasal
dari "proses alam yang berkelanjutan", seperti tenaga surya, tenaga
angin, arus air proses biologi, dan panas bumi. Kalau yang sekarang banyak
digunakan adalah energi dari bahan bakar hidrokarbon, seperti dari batubara,
minyak bumi atau gas alam yang sebenarnya tidak ramah terhadap lingkungan. Dan
yang lebih penting, yang terakhir itu tidak terbarukan, atau dengan kata lain:
akan cepat habis.
Ada beberapa masalah yang jadi kendala Energi
Terbarukan ini tidak bisa berjalan baik. Yang paling utama adalah kompetensi
para teknisi. Memang pemerintah telah
memberikan pelatihan terhadap para operator pembangkit ET dari berbagai daerah,
namun pelatihan tidak diberikan secara rutin dan hanya mencakup metode
pengoperasian dan perawatan aset. Operator tidak diajari cara menangani
kerusakan pada aset ET, yang justru sangat penting.
Selain itu, chanel komunikasi dari tingkat desa
menuju pusat juga tidak lancar. Masyarakat di pelosok seringkali kesulitan
dalam menjangkau pemerintah daerah maupun pusat untuk meminta bantuan terkait
ET. Sebaliknya, pemerintah pusat juga mengalami kesulitan mendapatkan laporan
langsung di lapangan. Ujung ujungnya, jadi sulit menetapkan prioritas daerah
yang harus mendapatkan bantuan kelistrikan.
Beberapa hal yang harus diperbaiki adalah peningkatan
pelatihan serta pendampingan untuk masyarakat yang mengelola energi terbarukan.
Selain itu, pemerintah perlu membangun sistem informasi dan pengawasan yang
efisien dari tingkat tapak ke tingkat nasional dalam pengelolaan ET di
Indonesia untuk memperlancar komunikasi antarkeduanya. (*)
(Tulisan
ini adalah salah satu hasil dari latihan pada training ‘Creative Writing for
Researcher’ – 17-18 Desember 2019 di Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar