Welcome to My Website. I studied engineering but later became a journalist, who then "rewarded" me with a Master's degree in Finance & Accounting ... but in the last 10 years, I trained and shared COMMUNICATION skills - not about money, or building materials. I fell in love with this knowledge, then deepened it scientifically as a Master in Communication Science. Now, I teach from Interpersonal, Self-Concept, Creative Writing, Family Communication to Media Handling Skills in corporations, government, and campus. That is ... my life is full of surprises and unusual dynamics.To know more about me, please follow my FB&IG at Feby.Siahaan

Kabung Yang Berkabung:Menanti Harapan Terang dari Energi Tebarukan


Oleh Anindita Nur Annisa

Temaram malam menemani kami - para peneliti - menyantap hidangan ikan bakar serta cumi cabai hijau yang baru selesai dimasak. Suara ombak berdebur pelan dari tepi rumah panggung tempat  menginap. Hati bahagia, semua terasa sempurna…….sampai tiba pada urusan maha penting itu: Mengisi baterai ponsel alias nge-charge. Deg! Dada serasa digodam. Ternyata listrik tak cukup.

Begitulah kehidupan sehari-hari di Pulau Kabung, Kalimantan Barat, lokasi penelitian terkait listrik  panel surya selama beberapa hari.

Sudah 74 tahun Indonesia merdeka, namun baru empat tahun terakhir penduduk Pulau Kabung merasakan listrik. Itupun ala kadarnya. Tahun 2016, Kementerian ESDM menyumbangkan satu set panel surya lengkap dengan baterai untuk melistriki 220 keluarga di Pulau Kabung yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Listrik yang diberika terbatas, hanya 300 watt per rumah. Paling paling cukup untuk lampu serta satu- dua peralatan elektronik seperti TV. Makin miris karena beberapa bulan terakhir listrik mulai tidak stabil karena adanya kerusakan pada salah satu panel surya.

Nestapa warga Kabung sangat kontras dengan masyarakat perkotaan yang bergelimang listrik. Bulan Agustus lalu, masyarakat Jakarta dan sebagian Jawa Barat serasa kiamat lokal karena PLN ngadat seharian. Sosial Media spontan dipenuhi caci maki. Cercaan terhadap Perusahaan Listrik Negara muncul disana-sini. Padahal gelap ‘sehari’ saja. Klimaksnya adalah saat presiden menjambangi kantor PLN membawa murka. Barangkali warga ibukota tak tau, dibanyak pelosok negara ini, fenomena hidup dalam gelap adalah santapan sehari-hari banyak keluarga. Padahal, listrik merupakan elemen kunci yang dapat mendorong pemberdayaan masyarakat setempat. Penduduk Pulau Kabung, misalnya, dapat meningkatkan kapasitas hasil lautnya jika mereka bisa memasang kulkas untuk menyimpan hasil lautnya agar lebih tahan lama.

Energi terbarukan (ET) sesungguhnya bisa menjadi solusi yang tepat untuk melistriki Indonesia Timur serta wilayah Indonesia dengan akses yang sangat sulit. Pemerintah Indonesia juga sudah memberikan sumbangan pembangkit listrik energi terbarukan ke berbagai daerah di Indonesia secara cuma-cuma. Sayangnya, masih terdapat tantangan dalam pengelolaan pembangkit energi terbarukan yang membuat operasional tidak bisa berjalan baik. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 142 proyek ET yang mangkrak dengan total nilai kerugian sebesar Rp 1,17 triliun.

Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari "proses alam yang berkelanjutan", seperti tenaga surya, tenaga angin, arus air proses biologi, dan panas bumi. Kalau yang sekarang banyak digunakan adalah energi dari bahan bakar hidrokarbon, seperti dari batubara, minyak bumi atau gas alam yang sebenarnya tidak ramah terhadap lingkungan. Dan yang lebih penting, yang terakhir itu tidak terbarukan, atau dengan kata lain: akan cepat habis.

Ada beberapa masalah yang jadi kendala Energi Terbarukan ini tidak bisa berjalan baik. Yang paling utama adalah kompetensi para teknisi.  Memang pemerintah telah memberikan pelatihan terhadap para operator pembangkit ET dari berbagai daerah, namun pelatihan tidak diberikan secara rutin dan hanya mencakup metode pengoperasian dan perawatan aset. Operator tidak diajari cara menangani kerusakan pada aset ET, yang justru sangat penting.

Selain itu, chanel komunikasi dari tingkat desa menuju pusat juga tidak lancar. Masyarakat di pelosok seringkali kesulitan dalam menjangkau pemerintah daerah maupun pusat untuk meminta bantuan terkait ET. Sebaliknya, pemerintah pusat juga mengalami kesulitan mendapatkan laporan langsung di lapangan. Ujung ujungnya, jadi sulit menetapkan prioritas daerah yang harus mendapatkan bantuan kelistrikan.

Beberapa hal yang harus diperbaiki adalah peningkatan pelatihan serta pendampingan untuk masyarakat yang mengelola energi terbarukan. Selain itu, pemerintah perlu membangun sistem informasi dan pengawasan yang efisien dari tingkat tapak ke tingkat nasional dalam pengelolaan ET di Indonesia untuk memperlancar komunikasi antarkeduanya. (*)

(Tulisan ini adalah salah satu hasil dari latihan pada training ‘Creative Writing for Researcher’ – 17-18 Desember 2019 di Jakarta)

Tidak ada komentar: